MAKALAH PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
HAK ASASI MANUSIA DAN
DEMOKRASI DALAM ISLAM
![]() |
KELOMPOK
4
1. Nita
Anggraini (25010113120029)
2. Novi
Astriana (25010113120031)
3. Tuti
Yuniatun (25010113120033)
4. Lisanti (25010113120034)
5. Nur
Fitriah (25010113120037)
6. Nur
Asiah Rahmi (25010113120039)
Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan
Masyarakat
Universitas Diponegoro
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT atas limpahan
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul HAM dan Demokrasi dalam Islam tepat
pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan tugas yang diberikan dalam mata
kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Diponegoro.
Kami merasa masih banyak
kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan penulisan makalah ini.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya
kepada dosen
yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhir
kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat
bagi kami maupun rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.
Semarang, 14 September 2013
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia sudah
memiiki hak-hak pokok dari lahir sampai meninggal. Hak-hak pokok tersebut
adalah hak asasi manuasia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi manusia bersifat
universal. Hak asasi manusia ( HAM ) dalam Islam berbeda dengan hak asasi
menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban
bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah
bersabda: "Sesungguhnya darahmu,
hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka negara bukan saja menahan
diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan
dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai
contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu
tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan agamanya. Islam tidak hanya menjadikan itu
sebagai kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi
melindungi hak-hak ini.
Disisi
lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama,
demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima secara utuh.
Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik, sementara yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya
sama sekali. Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya. Artinya, banyak yang
tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri
yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.
Kami
akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan Demokrasi menurut ajaran
dan pandangannya islam dalam makalah ini.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka permasalahan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
·
Apa pengertian HAM?
·
Bagaimana sejarah hak asasi manusia?
·
Bagaimana latar belakang adanya HAM?
·
Bagaimana perspektif islam terhadap hak asasi manusia?
·
Apa saja dasar-dasar hak asasi manusia dalam
Al-Qur’an?
·
Apa pengertian demokrasi demokrasi?
·
Bagaimana asal-usul demokrasi?
·
Bagaimana Islam memandang demokrasi?
·
Apa saja prinsip-prinsip demokrasi?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
·
Memahami apa itu hak asasi manusia.
·
Mengetahui sejarah hak
asasi manusia.
·
Mengetahui latar belakang
pemikiran hak asasi manusia.
·
Memahami perspektif islam
terhadap hak asasi manusia.
·
Mengetahui dasar-dasar hak
asasi manusia dalam Al-Qur’an.
·
Memahami pengertian
demokrasi.
·
Mengetahui bagaimana
asal-usul demokrasi.
·
Memahami pandangan islam
terhadap demokrasi.
·
Mengetahui prinsip-prinsip
demokrasi dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM
2.1.1.
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Didalam
kamus besar bahasa Indonesia, Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak
pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan. Hak-hak asasi manusia
adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat
dipisahkan daripada hakekatnya dan
karena
itu bersifat suci.
Selanjutnya
hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang dibawa sejak
seseorang lahir ke dunia
adalah anugerah dari Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak yang bersifat kodratif). Oleh
karena itu, tidak ada satu kekuasaan pun di dunia yang dapat mencabutnya. Jadi, hak asasi mengandung
kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain.
Karena itu HAM atas dasar yang paling fundamental yaitu hak kebebasan dan hak
persamaan. Dari kedua dasar ini pula lahir HAM yang lainnya.
2.1.2.
Hak-hak Asasi Manusia dan Sejarahnya
Kedatangan
Islam di muka
bumi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk membawa rahmat bagi
makhluk seisi bumi termasuk didalamnya manusia. Menurut ajaran Islam, manusia
tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus menjadi subjek bagi terciptanya
keselamatan dan kedamaian itu. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut
pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan lingkungannya. Seorang muslim
harus dapat memberikan rasa aman bagi orang lain baik dari ucapan maupun
tindak-tanduknya.
Berdasarkan
ini, maka penghargaan tertinggi kepada manusia dan kemanusiaan menjadi
perhatian yang paling utama dan prinsipil di dalam Islam. Penghargaan yang
tidak dibatasi oleh kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan agama. Misalnya
nilai persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan nilai-nilai universal
Islam yang berlaku pula untuk seluruh umat manusia di jagad raya ini. Hal ini
tercermin dari penegasan Allah didalam kitab suci al-qur’an :
“Sesungguhnya kami telah
memuliakan Bani Adam (manusia) dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan.
Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
(Q.S. Al-Isra’/17:70).
Hal
itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara hal-hal
yang baik dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan mudarat
dan sebagainya. Kunci dari itu semua adalah manusia dikaruniai akal pikiran dan
hati nurani (qalb). Untuk dapat
menjalankan tugas dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia harus mengerti
terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan,
persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan merupakan
pemberian seseorang, organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah dari Allah yang
sudah dibawanya sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian disebut
dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tanpa
memahami hak-hak tersebut
mustahil
ia dapat menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun
persoalannya, apakah setiap manusia dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak
tersebut? Jawabnya, mungkin belum setiap orang, termasuk umat Islam
menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya pendidikan atau sistem sosial
politik dan budaya disuatu tempat yang tidak kondusif untuk anak dapat
berkembang dengan sempurna.
2.1.3.
Latar
Belakang Pemikiran tentang HAM
Manusia
pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa serta bahasa dan
warna kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut pandangan Islam
adalah umat yang satu “ummatun
wahidatun”.
Karena
manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak
boleh diperbudak oleh manusia lain.
Manusia bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang
lain. Manusia, menurut islam, hanya milik Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah)
dan tidak boleh menjadi hamba dari makhluk-Nya, termasuk hamba dari manusia.
Dari
ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul manusia yang
lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan pendapat,
bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua
sisi dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak
memiliki harta, hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, mendapat
pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berkeluarga
dan hak diperlakukan sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan sebagainya.
2.1.4.
Perspektif Islam tentang Hak Asasi
Manusia
a. HAM sebagai tuntutan fitrah manusia
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia
dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap
perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai
nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya,
menyimpan kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi
kesemestaan seluruh alam.
Berdasarkan pandangan ini, maka manusia
memikul beban serta tanggung jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak,
tanpa kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya
pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan
memilih. Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari padanya pertanggung
jawaban, adalah suatu kezaliman dan ketidakadilan, yang jelas hal itu
bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak
individu itu, yang mempunyai hak dianggap menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan
perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya,
sebaliknya menimbulkan kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.
b. Perimbangan
antara hak-hak individu dan masyarakat
Untuk
menjaga keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat,didalam islam tidak
dikenal adanya kepemilikan mutlak pada manusia. Oleh karena itu,didalam syariat
islam apabila disebut hak Allah,maka yang dimaksud adalah hak masyarakat atau
hak umum. Allah adalah pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta,termasuk
apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh firman-nya
antara lain:
1. “Ketahuilah bahwa milik
Allahlah apa-apa yang ada dilangit dan dibumi”
(Q.S Yunus/10:55)
2. “Dan Dialah yang
menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi”
(Q.S Al-Baqarah/2:29)
3. “Dan berikanlah kepada
mereka sebagian dari harta Allah yang telah dikaruniakan-Nya kepadamu”
(Q.S An-Nuur/24:33)
4. “……..di dalam harta
mereka tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan tak punya”
(Q.S Al-Ma’arij/70:24:25)
2.1.5.
Dasar-dasar
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an
a. Hak
berekspresi dan mengeluarkan pendapat
Al-Qur’an menegaskan:
· “Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang
beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
· “Hendaklah kamu saling
berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan dengan penuh kesabaran”
(Q.S Al-Ashr/103:3)
· “Berilah berita gembira
kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”
(Q.S Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat
diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan
pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta
mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi
sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.
b. Hak
kebebasan memilih agama
Sehubungan dengan kebebasan memilih
agama dan kepercayaan, Al-Qur’an
menyebutkan antara lain:
· “Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa
yang Ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(Q.S Al-Baqarah/2:256)
· “Dan katakanlah,
kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu, maka
barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (Q.S
Al-kahfi/18:29)
· “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah
beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S.
Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah
menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu
sendiri untuk memilihnya. Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah
yang bertujuan menyeru, mengajak
dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an
al-munkar” (menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran ).
c. Hak
dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh
kesejahteraan sosial
Sehubungan dengan hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama ini Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut :
“
Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S
Al-Baqarah/2:29)
Ayat
ini menjadi dasar setiap
orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari
apa-apa yang sudah disiapkan Allah dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan
dalam firman-Nya :
“
Hai sekalian Manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi…..”
(Q.S Al-Baqarah/2:168)
2.2.
DEMOKRASI DALAM ISLAM
2.2.1.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah
pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah
sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah
yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih
rakyat harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga
menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a.
Kebebasan beragama
b.
Kebebasan berpendapat
c.
Kebebasan kepemilikan
d.
Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini
dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja
dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi
oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi
pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
2.2.2.
Asal Usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari
bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”,
yang dibentuk dari kata demos “rakyat”
dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada
pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno, khususnya Athena,
menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan
oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak
4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang
independen. Di setiap kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul
untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan
konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena
di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari
demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil
dan independen. Kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda,
ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Salah
satunya Athena,
kota yang mencoba sebuah model pemerintahan baru yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari
demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan.
Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi
demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan
Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya
setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih
kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang
dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum,
dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi mempunyai latar
belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni
situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama
dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi
agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide
yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak
menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu
bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam
berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima
demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang
melingkupi kelahirannya.
2.2.3. Demokrasi
dan Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan
yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam
konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan
ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis.
Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat,
tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban
pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi
dalam kerangka konseptual islam, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek
khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi islam dianggap sebagai sistem
yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah
(syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative
yang mandiri (ijtihad). Seperti
banyak konsep dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu
dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana
Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya,
istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi
dikalangan masyarakat muslim.
Perlunya musyawarah merupakan
konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu perwakilan rakyat
dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini
disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat,
baik pria maupun
wanita adalah khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam
mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus
diperhatikan dalam menangani masalah negara. Kemestian bermusyawarah dalam
menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :
“Dan orang-orang yang menerima
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura : 38).
Disamping musyawarah ada hal lain
yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakni konsensus atau ijma’.
Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan
memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam
pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai
landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang
sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir
muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu
tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip
utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut
dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk seruan untuk
melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis,
pendekatan kitalah yang telah menjadi statis. Oleh karena itu sudah selayaknya
dilakukan pemikiran ulang yang mendasar untuk membuka jalan bagi munculnya
eksplorasi, inovasi dan kreativitas.
Dalam pengertian politik murni,
Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus demokratisasi dan ijtihad.
Dalam bukunya The Reconstruction of
Religious Thought in Islam ia menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap
majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal yang
besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat
penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.
2.2.4.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam
islam
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja
disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat
Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli
wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim
formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan
tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan
menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam
menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus
dilakukan secara adil dan bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam
sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya,
antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’:
58, dan seterusnya. Prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan,
sehingga ada ungkapan yang berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari
kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia
negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran,
artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat
memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap
rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang
diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan
adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar dihadapan
rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah,
memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian
ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura
dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini
adalah surat al-Hujurat:13.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan
yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau
amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin
atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan
kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini
terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak
bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan
malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh
harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab
bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai
amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan
di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil
Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam
mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah)
ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang
terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat),
melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian,
kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap
orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya
kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol
sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu
masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama demokrasi, yaitu
sebagai berikut:
1)
Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam
berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi
hingga rakyat jelatah dikenakan hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum
dalam islam tidak berjalan dalam kehidupan.
2)
Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya
perkara-perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi
bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan
kesepakatan.
3)
Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia
tarafnya tidak boleh tetap, harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan
lebih baik di akhirat.
Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk
memperbaiki kehidupan, kareana itulah islam dikatakan sebagai agama perbaikan “diinul islam” atau agama inovasi. Untuk
itu, islam selau menghendaki demokrasi yang merupakan salah satu ciri atau jati
diri islam sebagai agama hukum.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
a.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara
yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
b.
Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah,
mendengarkan pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan
mengedepankan nilai-nilai keagamaan.
c.
HAM adalah hak yang
telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.
d.
HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh
individu dan kewajiban bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya.
3.2.
Saran
a.
Diharapkan setelah
membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di Indonesia dan
demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.
b.
Diharapkan setelah
membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam kehidupan kita dan
kewajiban kita untuk menjaganya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta:
Salemba Diniyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar