MAKALAH
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
PERMASALAHAN
DPT PADA PEMILU 2014
Disusun
oleh
Nama : Tuti Yuniatun
NIM : 25010113120033
Kelas : A
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum
(pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada
2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan
oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun
dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan
umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004, pada 2007, berdasarkan UU No.22
Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga
dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum. Ditengah masyarakat,
istilah ”pemilu” lebih sering merujuk kepada rezim pemilu legislatif dan pemilu
presiden yang diadakan lima tahun sekali.
Pemilihan umum
telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi
menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah
suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah
pengejawantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan.
Salah satu unsur
yang paling vital dalam pemilu adalah suara rakyat. Suatu pemilu tidak bisa
dikatakan berhasil jika rakyat sebagai unsur pokok negara tidak menyalurkan
aspirasinya dengan memilih calon legislatif dan
pemimpin yang akan memimpin dirinya. Dalam sistem pemilu kita, seseorang
bisa memilih jika sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun yang
terjadi akhir-akhir ini adalah permasalahan DPT yang karut marut, banyak warga
yang sudah berhak memilih tapi tidak tercantum dalam DPT, sedangkan warga yang
sudah meninggal atau berada di luar daerah pemilihan justru terdaftar sebagai
DPT. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran warga dan partai politik akan
terjadinya penggelembungan suara oleh pihak-pihak tertentu.
1.2.
Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian pemilu?
b. Apa sajakah dasar hukum pemilu?
c. Apa itu pemilu 2014?
d. Apa itu DPT?
e. Bagaimanakah permasalahan DPT?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pemilu
Menurut
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam,
mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti
proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan'
lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha
untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan
kegiatan retorika, public
relations,
komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam
kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga
dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam
Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan,
menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan
suara dilakukan,
proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau
sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh
para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Azas pemilu.
Pemilu
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil dengan
mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan
rahasia. Jadi berdasarkan Undang-undang tersebut Pemilu menggunakan azas
sebagai berikut :
1. Jujur : Penyelenggara atau pelaksana,
pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas, dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih serta semua
pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Adil :
Berarti dalam penyelenggaraan Pemilu setiap pemilih dan Parpol peserta Pemilu
mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
3. Langsung : Yaitu rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
4. Umum :
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia,
yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam
Pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak dipilih.
5. Bebas : Setiap warga negara yang memilih menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya
setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan
kehendak hati nurani dan kepentingannya.
6. Rahasia : Yang berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
Azas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat
pemungutan suara yang secara suka rela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada
pihak manapun.
2.2. Dasar Hukum Pemilu
Pelaksanaan Pemilu
di Indonesia didasarkan pada landasan berikut :
a.
Landasan
Ideal, yaitu Pancasila terutama sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
b.
Landasan
Konstitusional, yaitu UUD 1945 yang termuat di dalam :
·
Pembukaan
alinea keempat.
·
Batang
tubuh pasal 1 ayat 2.
·
Penjelasan
umum tentang sistem pemerintahan negara.
c.
Landasan
Operasional, yaitu GBHN yang berupa ketetapan-ketetapan MPR serta peraturan
perundang-undangan lainnya.
Beberapa
peraturan perundang-undangan tentang pemilu :
d) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemmilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
2.3. Pemilu 2014
Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berikutnya akan diselenggarakan pada tahun 2014. Ini akan
menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia, dan bagi presiden yang terpilih akan mempunyai jabatan
tersebut pada jangka waktu sampai lima tahun. Kewajiban Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono secara
konstitusional dilarang ikut untuk ketiga kalinya dalam pemilu.
Indonesia akan memakai e-voting dengan harapan menerapkan sebuah sistem baru dalam
pemilihan umum. Keutamaan dari penggunaan sistem e-voting adalah Kartu Tanda
Penduduk Elektronik (e-KTP) yang diharapkan akan segera disiapkan pada tahun
2012 secara nasional dan telah dicoba di enam kabupaten / kota yakni Padang (Sumatera Barat), Denpasar (Bali), Jembrana (Bali), Yogyakarta, Cilegon (Banten) dan Makassar (Sulawesi Selatan).
Pemilu 2014
akan dilaksanakan dua kali yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April
2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan Pemilu
Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
2.4.
Pengertian DPT
Daftar
Pemilih Tetap (DPT) adalah data kependudukan milik pemerintah dan pemerintah
daerah yang telah dimutakhirkan oleh KPU untuk keperluan pemilu. DPT ditetapkan
oleh KPU kabupaten/kota. Data kependudukan sendiri terdiri dari data penduduk
dan data penduduk potensial Pemilih Pemilu (DP4). Jadi, dalam menetapkan DPT
KPU menggunakan data kependudukan yang diberikan pemerintah dan pemerintah
daerah melalui Dinas Kependudukan.
2.5. Permasalahan DPT
Masalah
Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi salah satu permasalahan klasik yang mewarnai
pemilihan umum kepala daerah dan Pilpres. Menjelang 2014, permasalahan ini
kembali mencuat ke masyarakat. Pasalnya jumlah calon pemilih Pemilu 2014 yang
telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sesuai dengan temuan
beberapa partai politik. Jumlah yang diumumkan oleh KPU adalah sekitar 186 juta
dan masih ada 10,4 juta DPT bermasalah. KPU kemudian memverifikasi lagi bahwa
sekitar 3,2 juta nama pemilih tidak bermasalah. Sedangkan PDI Perjuangan mengklaim
menemukan sebanyak 10,8 juta daftar pemilih tetap bermasalah.
A.
Keakuratan DPT
Penetapan daftar
pemilih tetap (DPT) dalam Pemilu merupakan salah satu tahapan yang paling
krusial dalam menjamin terlaksananya pemilu yang berkualitas, demokratis, serta
jujur dan adil.
Akurasi data
pemilih merupakan prasyarat mutlak yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dalam melaksanakan demokrasi elektoral. Akurasi
daftar pemilih akan menentukan legitimasi dari Pemilu 2014. Disana terdapat hak konstitusional warga negara yang
dijamin oleh undang-undang untuk ikut memilih dan dipilih (rights to vote and rights to be candidate).
Kisruh tentang DPT
bukan merupakan hal baru dalam pemilu di Indonesia. Sejak pemilu tahun 1999
sampai 2009, DPT memang selalu menjadi catatan tersendiri. Tahun 2004 menurut
survei Jaringan Universitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat tercatat sebanyak 9%
pemilih tidak terdaftar. Sedangkan tahun 2009 merupakan pemilu dengan DPT
paling amburadul, jutaan warga tidak dapat memilih karena tidak terdaftar dalam
DPT.
Pada pemilu tahun
2014 ini, KPU menyebutkan bahwa rekapitulasi DPT 33 Provinsi menghasilkan
545.362 TPS, serta dari 80.801 desa / kelurahan, 496 kabupaten / kota, total
pemilih dalam DPT berjumlah 186,8 juta orang. Sedangkan daftar pemilih versi
DP4 Kemendagri berjumlah 190 juta orang. Terdapat selisih sekitar 4 juta daftar
pemilih antara data KPU dan Kemendagri.
Data DPT yang
disajikan oleh KPU ternyata masih belum valid, karena berdasarkan hasil temuan
Bawaslu masih ada data yang perlu diperbaiki. Temuan Bawaslu diantaranya
mengenai belum sinkronnya data yang ada pada Sistem Pemutakhiran Data Pemilih
(Sidalih) dengan data yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota. Misalnya saja
Sumatera Utara, berdasarkan hasil Pleno KPU Provinsi menyatakan pemilih
berjumlah 9.840.562 orang. Namun, data yang terdaftar di Sidalih terdapat
9.803.082 orang. Masalah ini tidak hanya di Sumatera Utara, tapi hampir di
seluruh Indonesia.
Meskipun KPU
menyatakan data yang valid adalah data yang terdapat dalam Sidalih, akan tetapi
secara legal formal, yang harus dijadikan dasar penetapan DPT nasional adalah
data yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota. Disamping data yang belum
sinkron, Bawaslu juga masih menemukan sekitar 11.000 data pemilih yang bermasalah,
diantaranya karena NIK ganda, NIK kosong, status perkawinan tidak terisi bahkan
hingga pemilih fiktif.
Persoalan krusial dari tahapan pemilu–berkaca dari
pemilihan sebelumnya–selalu berkutat pada masalah daftar pemilih. Seharusnya semua
pihak, baik KPU, pemerintah, maupun DPR, atau partai-partai peserta pemilu,
memberi perhatian serius kepada akurasi daftar pemilu. Akurasi daftar pemilih
harus betul-betul terjamin
B.
Penundaan Pengesahan DPT
Penetapan DPT secara nasional yang sedianya
dilaksanakan pada 23 Oktober lalu, tetapi dalam rapat pleno Rabu (23/10), KPU
memutuskan untuk menunda penetapan hingga 4 November 2013. Selain karena
desakan Komisi II DPR dan partai politik yang menolak DPT ditetapkan kala itu,
KPU mengambil keputusan itu karena adanya rekomendasi dari Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) sebagaimana tertuang dalam Surat Bawaslu Nomor
762/Bawaslu/X/2013. Pada lampiran surat tersebut, Bawaslu menyebut masih
terdapat 10,8 juta data yang masih bermasalah. Selain itu juga memang masih ada
perbedaan data antara data di DPT dan data di Sistem Informasi Data Pemilih
(Sidalih).
Anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiansyah, menjamin
penundaan pengesahan DPT tidak mengganggu tahapan pemilu karena DPT hanya
terkait dengan pengadaan logistik pemilu.
Selain itu, Ramlan juga mengatakan keterlambatan
penetapan DPT itu tidak masalah bila ditujukan untuk menjamin akurasi daftar
pemilih dan tidak berdampak pada penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan.
Memang, molornya penetapan DPT itu bisa saja
berdampak pada terlambatnya proses pengadaan dan distribusi logistik, misalnya
surat suara. Tetapi, bila molornya penetapan DPT itu demi menjamin akurasi
daftar pemilih, keterlambatan logistik bisa ditoleransi.
Dari sudut pandang berbeda, penundaan tahapan
pemilu, dalam hal ini pengesahan DPT dan seringnya putusan KPU dianulir, baik
oleh Bawaslu maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, berpotensi memengaruhi
kredibilitas penyelenggara pemilu. Makin kerap KPU menunda atau menggeser
tahapan pemilu pasti memengaruhi persepsi publik tentang kemandirian KPU itu
sendiri.
Kesemrawutan DPT sebenarnya adalah masalah laten
bangsa ini. Meski setelah Orde Baru berakhir kita sudah menggelar tiga kali
pemilu, penyakit laten DPT ini tetap menjadi soal dan terus saja dipersoalkan.
C.
DPT dan Partisipasi Politik
KPU telah bergerak
selangkah menuju Pemilu 9 April 2014. Dari data KPU, jumlah pemilih Pemilu 2014
bertambah. Dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2009 terdapat lonjakan jumlah
pemilih terdaftar sekitar 10%, yaitu dari 171.068.667 menjadi 188.622.535 pada
tahun 2014 nanti. Jumlah pemilih dari tiap pemilu menunjukkan tren meningkat.
Hal itu wajar karena jumlah penduduk bertambah.
Namun, sayangnya
tren kenaikan jumlah pemilih tidak sebanding dengan partisipasi politik
pemilih. Partisipasi politik justru menurun sejak Pemilu Legislatif 2009.
Tingkat partisipasi politik mencapai 92,74% pada pemilu 1999 dan pada Pemilu
Legislatif 2009 berada di angka 70,96%. Ada penurunan tingkat partisipasi
politik 20%.
Pemilu 1999 menjadi
klimaks dari partisipasi politik masyarakat. Euforia politik terjadi seiring
dengan berakhirnya Orde Baru. Namun, seiring dengan kian seringnya pemilu
digelar, baik di tingkat nasional (presiden, DPR, dan DPD) maupun di tingkat
daerah (gubernur dan wali kota), terasa ada kejenuhan politik. Bagi sebagian
anak muda, politik menjadi tidak menarik. Demokrasi hanya menghasilkan anggota
legislatif dan pemimpin. Namun, demokrasi belum menghadirkan kesejahteraan
rakyat.
Pada situasi
psikologis-politis seperti ini pemilu 9 April dilangsungkan. Kita mendorong KPU
membersihkan daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Bermasalah dalam arti DPT
tidak terdapat nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak standar. Padahal
kehadiran KTP elektronik dengan satu nomor identitas seharusnya bisa mencegah
manipulasi data diri.
Semangat rakyat
Indonesia untuk berpartisipasi dalam dunia politik harus digairahkan pada
Pemilu 2014 nanti. Di Indonesia, memilih adalah hak bukan kewajiban. KPU dan
partai politik harus ikut mendorong pemilih apatis menjadi pemilih partisipatif
dengan menghadirkan caleg dan pemimpin yang memberikan harapan baru, bukan
sekedar janji-janji manis belaka.
D.
Potensi Golput
Permasalahan DPT
akan berdampak pada meningkatnya masyarakat Golongan Putih (Golput). Sikap
masyarakat yang seperti itu wajar saja terjadi mengingat semrawutnya DPT yang
tak kunjung terselesaikan. Sikap apatis masyarakat itulah yang
pada akhirnya membuat pemilu terancam gagal. Sebab, ketika apatisme
masyarakat semakin tinggi dan luas terhadap pelaksanaan pemilu mengingat
DPT-nya yang bermasalah, dengan sendirinya angka golput akan tinggi pula. Apa
yang diharapkan dari pemilu yang DPT-nya belum jelas.
Jika kondisi itu tidak disikapi secara serius dan
diimbangi dengan pembenahan, bukan tidak mungkin potensi golput pada pemilu
nanti akan meningkat drastis. Berkaca dari pelaksanaan pemilu, terjadi
peningkatan angka golput selama dua pemilu terakhir. Angka golput Pemilu 2004
mencapai 23,34% dari total pemilih dan meningkat pada Pemilu 2009 menjadi
39,1%. Kekhawatiran mengenai rendahnya partisipasi masyarakat pada Pemilu 2014
dilontarkan juga oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin. Menurut dia,
parpol, pers, dan masyarakat sipil harus terus melakukan pendidikan politik ke
publik bahwa golput itu tak menyelesaikan masalah.
Meski masyarakat apatis terhadap perilaku politisi
dan parpol, golput bukan solusi. Masyarakat harus tetap didorong agar
berkontribusi bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Wakil Ketua Umum DPP
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, masyarakat apolitis bisa
menyebabkan parpol jadi tak aspiratif. Pada akhirnya hal itu akan membuat
politisi jadi teralienasi dan hanya asyik dengan diri sendiri. “Jika itu yang
terjadi, negara dan bangsa amat dirugikan”
Jika penyelenggaraan pemilu dianggap baik,
masyarakat akan menyalurkan haknya dengan baik pula. Mengenai rendahnya
kepercayaan publik terhadap parpol dan politisi, Arif mengaku hal itu tidak
bisa dimungkiri. Tapi, dia masih merasakan betul bahwa secara nyata masyarakat
di dapilnya masih menaruh harapan dan kepercayaan besar terhadap parpol dan
anggota legislatif.
Ada berbagai faktor yang berdampak munculnya DPT
bermasalah. Karenanya, masalah ini memang tidak bisa sepenuhnya diserahkan
kepada KPU. Pengawasan terhadap pemilu merupakan kewajiban dan kewenangan
seluruh pemangku kepentingan, termasuk parpol. Kisruh soal jumlah DPT ini
sekaligus menjadi sinyalemen bahwa parpol ikut terlibat untuk menjamin hak
politik masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berbagai masalah dalam penetapan daftar pemilih tetap
(DPT) haruslah disikapi dengan arif dan bijaksana, tidak selalu mengkambing
hitamkan KPU. Masalah DPT harus diselesaikan dengan bantuan semua pihak, baik
pemerintah, DPR, maupun partai politik.
Masalah DPT ini juga harus segera diselesaikan dengan
tuntas agar tidak ada hak pilih rakyat yang hilang. Memilih dan dipilih adalah
hak seluruh rakyat Indonesia.
3.2. Saran
KPU dan semua elemen yang bertanggungjawab terhadap
pemilu harus segera menyelesaikan permasalahan DPT. Jangan sampai ada rakyat
yang tidak bisa memberikan suaranya hanya karena namanya tidak tercantum dalam
DPT.
Masyarakat juga jangan selalu menyalahkan KPU karena
untuk mengurus DPT seluruh Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar